Poster dari film Ave Maryam Gambar dicolong dari wikipedia. |
Misc-en-scene film ini menurutku sangat amat bagus. Banyak adegan yang menunjukkan latar tempat secara luas. Nggak melulu terfokus pada orang layaknya banyak film Indonesia yang aku tonton. Lagu-lagunya juga bagus, nggak melulu lagu Gereja. beberapa adegan juga nggak pake BGM supaya ngeuna di penonton. Banyak juga posisi kamera menggunakan bird view alias dilihat dari atas, misal dalam adegan misa pagi di Gereja. Ada juga adegan yang disorot menggunakan worm view, jadi penggunaan kamera di filem ini sangat amat indah deh.
Di film ini memiliki cukup sedikit narasi, nggak banyak cing cong seperti banyak film Indonesia. Mungkin karena di biara sendiri lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara, apalagi di biara ini didominasi suster sepuh. Suster yang muda serta menjadi center dari film ini adalah Suster Maryam (diperankan oleh mbak Maudy Koesnandi), serta suster Mila (diperankan oleh mbak Olga Lydia). "Woi! Mana ada umur 40 dihitung muda?" Ya gimana da emang yang banyak suster menjadi "suster" pas udah kepala tiga. Kalau kalian belum tau nih, suster ini punya "pangkat" sebelum akhirnya menjadi suster. Dari aspiran (kayak aku dulu, mereka yang masih "tengak tenguk"menjadi suster), postulan (sudah bisa membantu suster dan mendapat seragam khusus), novis (sudah bisa dibilang setengah suster), baru menjadi suster yang bertudung dan berkaul. Proses yang panjang kan? Makanya aku bilang suster Maryam itu suster muda. Makanya dulu aku di biara, aku rada kesel karena aku udah setua novis, tapi berada di kasta terbawah di biara sebagai aspiran. Ye malah curhat,
Selain itu, adegan off-topic disini cukup banyak. Biasanya kan adegan off-topic cuman di awal, ini mah sampai akhir pun ada. Apa itu off-topic? Hence the name, adegan yang nggak ada hubungannya sama tema utama. Disini, dijelaskan kegiatan suster apa saja. Selain berdoa dan mengikuti misa pagi, suster bisa masak, bisa membaca dan bermain permainan kecil kayak congklak dan ular tangga (nggak ada main congklak dan ular tangga sih di film ini), bahkan bisa jalan-jalan. Di dalam film ini, suster Maryam kerap keluar biara, entah buat beli roti atau beli majalah. Adegan lain menunjukkan suster Maryam membaca bukunya Simone Beauvoir, penggagas feminisme gelombang pertama. Buku itu tentu haram bagi para misognis dan pengagum patriarki. Adegan ini menarik karena suster Maryam baca buku itu, padahal doi hidup di tengah budaya patriarki katolik. Katolik itu patriarkis banget gengs, tapi suster Maryam masih baca itu. Ketika suster Monika (suster tua yang menjadi orang tua asuh romo Yosef) menemukan buku itu, nggak dibahas sih. Ini juga menjadi menarik karena berarti sesama suster nggak usah ngurusin urusan orang. Bayangin seorang suster membaca buku Beauvoir mengenai tubuh. Aku yang belajar gender di kuliah aja dicaci maki sama misognis banyak cing cong. Aku bahkan dilabelin sebagai lesbian dan feminazi, padahal aku jelas masih (dan selamanya) tertarik pada laki-laki. Yee curhat tahap kedua. Balik ke bahas filem gengs, kuys.
Pesan utama dari film ini, aku rasa, mengenai biarawan-biarawati yang "masih manusia". Pengenalan masalah dari film ini dimulai ketika seorang pastur, dipanggil Romo Yosef, hendak mengajar paduan suara untuk natal. Mulai dari sini lah romo Yosef dan suster Maryam mulai dekat. TAPI. Ada tapinya nih. Di dalam film nggak dijelaskan apa suster dan romo tersebut pernah berkenalan sebelumnya. Suster Maryam cuman ''nengokin" romo Yosef yang ngajarin paduan suara dan orchestra di Gereja itu. Malahan romo Yosef sering mengirimkan suster Maryam surat, entah ke kamarnya atau entah melalui suster lain, bahkan pernah mencoba meminta pada Dinda, gadis berkerudung yang bertugas mengirimkan susu kepada suster, untuk mengajaknya keluar. Awalnya suster Maryam tidak mengindahkan ajakan itu, bahkan sempet ngusir romo Yosef dengan alasan "Sudah terlalu malam". Cuman ya akhirnya suster Maryam menerima ajakan tersebut. Suster Maryam menggunakan slayer sebagai kerudung tidak syari'i. Tidak banyak omongan di antara mereka, namun mereka menikmati waktu berdua.
Disini adalah bagian yang, aku pribadi nih ya, nggak aku suka sama sekali. Yang ngajak keluar siapa? Si romo. Romo itu mengajak suster Maryam pribadi kemana-mana, bahkan membelikan kue ulang tahun di pantai. Kenapa cobak diajak ke pantai, out of many places they can visit like museums or libraries? (ya itu mah aku aja yang suka ke sana). Sampai ada adegan suster Maryam membuka bajunya dan berenang di pantai. Iya, seorang suster mengenakan pakaian renang di pantai, di hadapan seorang romo. Dua sejoli yang berkaul kesucian (perawan dan perjaka untuk selamalamalamanya) berenang di pantai, dan diakhiri dengan penyesalan di antara mereka. Tapi entah apa yang bikin mereka menyesal, kayak ngapain gitu di pantai. Nggak dijelaskan dalam film ini.
Anti-klimaks di filem ini adalah ketika romo Yosef "dihakimi" oleh para suster lain karena ketauan sering bertemu suster Maryam, sehingga suster Maryam harus pindah biara. Iya, yang salah siapa, yang pergi siapa. Aku cukup merasakan keadilan ketika romo Yosef "dihakimi" oleh semua suster lain, termasuk suster Mila dan suster Monika. Tapi romo Yosefnya ya membela diri lah, bahwa Tuhan itu penuh cinta kasih dan blablabla lainnya. Nggak ada maling teriak maling kan? Tapi tetep saja suster Maryam yang harus pergi.
Bagian paling nyesek adalah di ending (buatku sih) ketika suster Maryam mengaku dosa, dan si pendengarnya justru romo Yosef sendiri. Bukan romo Martin atau romo lainnya. Adegan ini menjadi menarik untukku karena suster Maryam mengaku dosa, tapi apakah romo Yosef juga mengaku dosa setelahnya? Hanya Tuhan yang tau, barangkali. Romo Yosef pun menangis di bilik pengakuan dosa, memegang alkitab dan mengenakan syal romo bewarna ungu. Romo Yosef menangis sebagai romo, tapi harus membantu suster Maryam mengaku dosa sebagai perwakilan dari Tuhan.
Terus apa yang membuatku sebal dengan film ini? Aku curhat ke seorang temanku yang mendukung gender equality, sebut saja mas B, dan mas B ini juga ikut mengkritiki film ini sebagai bentuk kritik atas Gereja Katolik. Mas B berpendapat, kekeukeuhan (keukeuh = keras kepala) Gereja Katolik yang membuat para biarawan-biarawati tidak menikah itu menyusahkan hidup manusia. Padahal bukan itu yang kumaksud. Aku malah setuju biarawan-biarawati tidak menikah (alasannya nggak akan kujelaskan eniwei). Justru karena konflik di film kurang, sehingga aku sebagai penonton kekurangan informasi. Kenapa romo Yosef "mendekati" suster Maryam yang notabene lebih tua sepuluh tahun, dan bukannya suster Mila yang lebih muda? (suster Mila disini agak galak sih orangnya) Kenapa di narasi poster film sebelum ditayangkan, disebutkan bahwa suster Maryam itu sebelumnya beragama Islam? Padahal di filmnya nggak ada sama sekali clue agama suster Maryam sebelumnya apa. Di filmnya palingan dijelaskan bahwa suster Monika dulunya sama dengan suster Maryam, merawat suster tua. Lagian merawat suster nggak mentah-mentah kerjaan orang non-Katolik kok. Apakah karena ada tokoh Dinda yang berkerudung menjadi clue bahwa "asisten"suster itu bukan Katolik? Kenapa suster Maryam mau diajak sama romo Yosef? Hubungan mereka dulu apa?
Terlalu banyak miss di dalam film ini yang membuat aku (aku doang ya, belum tentu kalian juga) tidak menyukai film ini. Misses ini yang aku khawatirkan menjadi misleading buat teman-teman non Katolik. Waktu aku nonton pun beberapa penonton pakai kerudung syari'i. Niatanku menjadi suster nggak tergugah dari film ini. Pas liat artikel di Tirto kupikir justru akan membuatku bersemangat, karena bagaimanapun untuk menjadi suster itu harus lepas dari nikmat dunia termasuk jatuh cinta. Namun proses suster Maryam dan romo Yosef ini jatuh cinta cukup kurang dijelaskan, jadi di akhirnya aku nggak tau ini arah ceritanya gimana. Tau-tau pulang dari pantai mereka berdua menangis hujan-hujanan.
Bagaimanapun aku cinta film ini karena suster Monika. Suster Monika tau suster Maryam dan romo Yosef saling cinta, namun suster Monika hanya bilang "Apabila surgaku belum pasti, buat apa aku mengurusi nerakamu."